Hj. Rabiah (Suster Apung)

Published: kickandy
Film dokumenter, “Suster Apung” sebelumnya hanya saya tonton secara sepintas di televisi, dan itupun hanya dalam bentuk potongan berita atau cuplikan-cuplikan pendek di salah satu TV Swasta. Meski kisah sukses film itu telah diberitakan berbagai media sejak tahun 2006 silam, saya tidak jua mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan film itu secara utuh. Hingga tanggal 20 mei 2009 saya berkesempatan untuk menyaksikan film, “Suster Apung” secara utuh, bahkan berdiskusi langsung dengan Andi Arfan Sabran pemuda yang menyutradarai film ini, dalam kegiatan, “Pemutaran dan diskusi film dokumenter suster apung” yang diselenggarakan oleh BAKTI di Makassar.”

Film berdurasi 15 menit ini adalah salah satu film dokumenter yang sukses menyabet gelar film terbaik Eagle Award yang diselenggarakan Merto TV, berkisah tentang seorang suster atau perawat bernama, Hj Andi Rabiah, yang bekerja dari satu pulau ke pulau lainnya yang letaknya tepat dekat Flores yang merupakan pulau terjauh di Kabupaten Pangkep.

“Suster Apung” adalah sebuah kisah inspirasional, sebuah kisah yang menunjukan semangat berbagi dan pengabdian kepada masyarakat, Perawat ini dengan tulus ikhlas melayani pasiennya.


Hj. Rabiah telah bertugas sebagai perawat selama 28 tahun hingga sekaang di kepulauan Liukang Tangaya di selatan Pulau Sulawesi, dekat perairan laut Flores. Ia harus menembus ganasnya gelombang laut dan melawan batas kewenangannya sebagai perawat, serta tidak menyerah oleh keterbatasan fasilitas yang ada di tempat-tempat terpencil tersebut.

Film dokumenter yang menampilkan aktifitas keseharian suster Rabiah ini sungguh mengharukan, menyaksikan bagaimana perjuangan suster Rabiah dari satu pulau ke pulau lainnya dengan menghadapi ganasnya gelombang laut, demi untuk melayani orang-orang yang membutuhkan pertolongan dari tenaga perawat, benar-benar sebuah kisah kemanusiaan, seperti pengakuan dari sang sutradara, “Menyaksikan apa yang dilakukan oleh suster Rabiah, benar-benar mengusik rasa kemanusiaan saya, ada hal-hal yang harus disuarakan dari perjuangannya,” ungkapnya.

Sang sutradara asal Makassar ini sangat cerdas dalam menampilkan ketulusan sang suster dalam melayani orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis, visualisasi aktifitas dan pernyataan-pernyatan sang suster dalam film ini benar-benar memberikan kesan alami dan tulus, seperti ungkapannya saat mengakui dirinya bertindak di luar kewenangannya selaku suster. “Saya ini suster, tapi saya harus menjalankan semua tanggung jawab sebagai bidan bahkan dokter. Mau apalagi tidak ada tenaga kesehatan lain di sini,” ungkap sang suster dalam film tersebut.

“Suster Apung”, sebagai sebuah film dokumenter, bukan hanya memenang-kan penghargaan Eagle Award, namun juga telah memenangkan perjuangan menuntut perhatian dari pemerintah atas kehidupan “Sang Pengabdi“ dan masyarakat di pelosok negeri ini.

Setelah film ini terpublikasi, pihak pemerintah seolah berlomba memberikan perhatian kepada penghidupan sang suster. Meski tak jarang perhatian yang diberikan tak mengena pada akar persoalan yang sesungguhnya.

Menyaksikan film ini, seperti melihat dan membaca negara ini, yang sering diidentikan dengan kekayaan alam, namun ada sesuatu yang timpang di dalamnya. “Suster apung” adalah potret kehidupan sang pengabdi yang terlupakan, ada banyak Suster Apung lainnya di pelosok negeri ini yang nasibnya tak lebih baik dari suster Hj.Rabiah.
“Saya meyakini, masih banyak suster-suster seperti Hj. Rabiah, masih banyak kisah-kisah inspiratif dari perjuangan dan pengabdian. Untuk merekalah sesungguhnya film ini dibuat,” ujar Arfan menutup diskusi film ini


Read more...

Yohanes Surya

Yohanes Surya lahir di Jakarta pada tanggal 6 November 1963. Ia mulai memperdalam fisika pada jurusan Fisika MIPA Universitas Indonesia hingga tahun 1986, mengajar di SMAK I Penabur Jakarta hingga tahun 1988 dan selanjutnya menempuh program master dan doktornya di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Program masternya diselesaikan pada tahun 1990 dan program doktornya di tahun 1994 dengan predikat cum laude. Setelah mendapatkan gelar Ph.D., Yohanes Surya menjadi Consultant of Theoretical Physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator Facility) Virginia – Amerika Serikat (1994).

Walaupun sudah punya Greencard(ijin tinggal dan bekerja di Amerika Serikat), Yohanes Surya pulang ke Indonesia dengan tujuan ingin mengharumkan nama Indonesia melalui olimpiade fisika (semboyannya waktu itu adalah “Go Get Gold”) serta mengembangkan fisika di Indonesia.


Pulang dari Amerika, disamping melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), Yohanes Surya menjadi pengajar dan peneliti pada program pasca sarjana UI untuk bidang fisika nuklir (tahun 1995 –1998). Dari tahun 1993 hingga 2007 siswa-siswa binaannya berhasil mengharumkan nama bangsa dengan menyabet 54 medali emas, 33 medali perak dan 42 medali perunggu dalam berbagai kompetisi Sains/Fisika Internasional. Pada tahun 2006, seorang siswa binaannya meraih predikat Absolute Winner (Juara Dunia) dalam International Physics Olympiad (IphO) XXXVII di Singapura.

Sejak 2000, Yohanes Surya banyak mengadakan pelatihan untuk guru-guru Fisika dan Matematika di hampir semua kota besar di Indonesia, di ibukota kabupaten/kotamadya, sampai ke desa-desa di seluruh pelosok Nusantara dari Sabang hingga Merauke, termasuk pesantren-pesantren. Untuk mewadahi pelatihan-pelatihan ini Yohanes Surya mendirikan Surya Institute. Surya Institute kini sedang membangun gedung TOFI center yang akan menjadi pusat pelatihan guru maupun siswa yang akan bertanding di berbagai kejuaraan sains/fisika.

Yohanes Surya merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika/Matematika. Ada 68 buku sudah ditulis untuk siswa SD sampai SMA. Selain menulis buku, ia juga menulis ratusan artikel Fisika di jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional, harian KOMPAS, TEMPO, Media Indonesia dan lain-lain. Ia juga pencetus istilah MESTAKUNG dan tiga hukum Mestakung, serta pencetus pembelajaran Gasing (Gampang, Asyik, Menyenangkan).

Selain sebagai penulis, Yohanes Surya juga sebagai narasumber berbagai program pengajaran Fisika melalui CD ROM untuk SD, SMP dan SMA. Ia juga ikut memproduksi berbagai program TV pendidikan diantaranya “Petualangan di Dunia Fantasi”, dan “Tralala-trilili” di RCTI.

Di luar aktifitasnya di atas, Yohanes Surya berkiprah dalam berbagai organisasi internasional sebagai Board member of the International Physics Olympiad, Vice President of The First step to Nobel Prize (1997-sekarang); Penggagas dan President Asian Physics Olympiad (2000-sekarang); Chairman of The first Asian Physics Olympiad, di Karawaci, Tangerang (2000); Executive member of the World Physics Federation Competition; Chairman of The International Econophysics Conference 2002; Chairman the World Conggress Physics Federation 2002; Board of Experts di majalah National Geographic Indonesia serta menjadi Chairman of Asian Science Camp 2008 di Denpasar, Bali. Selama berkarir di bidang pengembangan fisika, Yohanes Surya pernah mendapatkan berbagai award/fellowship antara lain CEBAF/SURA award AS ’92-93 (salah satu mahasiswa terbaik dalam bidang fisika nuklir pada wilayah tenggara Amerika), penghargaan kreativitas 2005 dari Yayasan Pengembangan Kreativitas, anugerah Lencana Satya Wira Karya (2006) dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun yang sama, ia terpilih sebagai wakil Indonesia dalam bidang pendidikan untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Pada tahun 2007, beliau menulis buku "Mestakung: Rahasia Sukses Juara Dunia" yang mendapatkan penghargaan sebagai penulis Best Seller tercepat di Indonesia. Dan tahun 2008 mendapat award sebagai Pahlawan Masa Kini pilihan Modernisator dan majalah TEMPO

Yohanes Surya adalah guru besar fisika dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Ia pernah menjadi Dekan Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan; Kepala Promosi dan Kerjasama Himpunan Fisika Indonesia (2001-2004), juri berbagai lomba sains/matematika (XL-com, L’oreal, UKI dsb), anggota Dewan Kurator Museum Iptek Taman Mini Indonesia Indah, salah satu founder The Mochtar Riady Institute, anggota Dewan Wali Amanah Sekolah Tinggi Islam Assalamiyah Banten dan kini Prof. Yohanes Surya menjabat sebagai Rektor Universitas Multimedia Nusantara (Kompas Gramedia Group) serta aktif mengkampanyekan Cinta Fisika (Bali Cinta Fisika, Kalbar Cinta Fisika dsb) diseluruh Indonesia.(***)


Read more...

R. A Kartini

Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).


Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.


Read more...