Ridwan Dalimunte dan Nurlela Siregar


Published: kickandy
Ridwan Dalimunte dan Nurlela Siregar merupakan guru di Dusun Aek Pastak, kawasan Padang Lawas, Tapanuli, Sumatera – Utara. Dusun dengan luas 195 ha ini merupakan tanah adat yang dikelola bersama. Pasangan suami-istri ini menjadi guru sejak tahun 1997. Adapun sekolah swadaya Aek Pasak ini merupakan sekolah jauh dari SD Negeri Pembangunan yang berada 7 km dari sekolah tersebut dan berdiri sejak tahun 1968. Guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut di tunjuk berdasarkan keputusan musyawarah warga.


Sejak tahun 2005, Ridwan baru menerima honor dari komite yang diambil dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebesar Rp. 600.000. Sebelumnya, Ridwan dan istrinya hanya dibayar dengan 80 kaleng beras pertahun. Pasangan suami-istri Ridwan Dalimunte dan Nurlela Siregar harus bergantian mengajar anak-anak di sana. Kalau suaminya ke sawah, Nurlela yang pergi mengajar anak-anak. Begitupun sebaliknya.

Sekolah tempat Ridwan mengajar hanya memiliki 1 ruangan yang disekat menjadi 2 kelas, dengan atap dan dinding sekolah berlubang-lubang. Sekarang ini, sudah ada 60 murid yang belajar di sekolah tersebut. Tahun 2005, pasangan suami-istri ini pernah diundang ke Jakarta untuk bertemu dengan istri wakil presiden, Mufidah Jusuf Kalla. Namun, kondisi sekolah tersebut belum banyak mengalami perubahan, bantuan yang diterima dari pemerintah baru sedikit. Harapan pasangan suami-istri ini adalah ingin meningkatkan pendidikan anak-anak di desa Aek Pastak ini. Nurlela bahkan mengaku sampai kapanpun dia akan mengajar karena dia menyukainya.



Read more...

Abah Muksin "Intan dalam lumpur "

Published: kickandy
Guru asal Surabaya ini mewujudkan cita-citanya untuk memutus mata rantai pelacuran dengan membuat sebuah madrasah di tengah2 komplek lokalisasi, di Bangun Rejo, Surabaya. Tahun 1985, ia mulai mengelola Madraan Ibtidaiyah (sekolah dasar) yang memberikan layanan gratis bagi anak-anak yatim dan tidak mampu, juga termasuk anak-anak dari pekerja seks komersial di sekitar sekolah,

Abah Muksin mengaku lebih mengutamakan pelajaran akhlak bagi para murid-muridnya, lalu setelah itu pelajaran akidah. Dan PR rutin yang diberikan kepada murid-muridnya adalah melakukan sholat di depan orang tuanya. Supaya orang tuanya tersentuh,katanya.

Mulanya sekolah itu hanya memiliki dua kelas yang dipakai bergantian. Dengan bantuan donatur, kini sekolah itu berkembang bahkan hingga dua lantai. Harapan lain Abah Muksin adalah bisa membeli tanah dan membangun rumah yatim piatu di lahan yang sekarang masih menjadi tempat lokalisasi.
Read more...
Category:

Juli Eko Sarwono “Good practice”

Published: kickandy
Juli Eko Sarwono adalah guru matematika. Ketakutan anak-anak terhadap pelajaran Matematika mendorong dia untuk selalu berusaha mencari model guru profesional dan pembelajaran yang tepat tetapi sampai sekian lama tidak berhasil. Barulah ketika SMP 19 Purworejo terpilih menjadi mitra Decentralized Basic Education 3 (DBE3)-USAID dan Pak Eko mengikuti pelatihan modul dasar Better Teaching and Learning (Pengajaran Profesional dan Pembelajaran Bermakna) serta modul Life-Skills (Kecakapan hidup), Pak Eko menemukan apa yang telah lama didambakan. Di dalam pelatihan Better Teaching and Learning (Pengajaran Profesional dan Pembelajaran Bermakna) Pak Eko dilatih tentang pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.

Pelatihan dan pendampingan yang intensif dari fasilitator tersebut menjadi titik balik strategi pembelajaran yang diterapkan Pak Eko di dalam kelas. Dia mulai membangun komunikasi dan pendekatan 2 arah terhadap siswa, menerapkan metode pembelajaran aktif di kelas yang bervariasi seperti mengajak anak belajar di luar dengan menempel soal-soal, membuat media dengan barang-barang bekas seperti kardus mie, kalender bekas, koran; menempel dengan kertas warna-warni, dan lainnya.



Pak Eko berhasil membiayai anaknya sampai lulus sarjana dengan berjualan bakso keliling. Ia mempunyai pengalaman mengajar selama 27 tahun. Pak Eko sendiri baru berjualan bakso keliling tahun 2003, sekitar 6 tahun yang lalu. Saat itu anak pertamanya akan kuliah namun gajinya sebagai PNS sebesar Rp. 2,6 juta tidak cukup untuk menyekolahkan anaknya kejenjang yang lebih tinggi sehingga dia harus berhutang. Untuk membayar cicilan hutangnya, Pak Eko akhirnya berjualan bakso, profesi yang pernah di jalaninya ketika SMA.

Banyak orang yang terkesan pada kepribadian Pak Eko karena ia selalu menjunjung etos kerja tinggi yang juga diterapkannya dalam kehidupanya sehari-hari. Sebagai kepala keluarga yang harus bertanggung jawab pada kelangsungan perekonomian keluarga, Pak Eko melakoni profesi ganda sebagai guru dan pedagang bakso keliling.

Berita menggembirakan bagi Pak Eko datang ketika seorang dosen Matematika UNNES juga menawari untuk melihat dan mengadopsi media matematika sederhana di laboratorium matematika UNNES (Universitas Negeri Semarang). Ketika inovasi pembelajaran Pak Eko diangkat pada lokakarya keberhasilan DBE, pengalaman mengajar yang dibaginya telah menginspirasi banyak guru di SMP 19 Purworejo dan kabupaten lain untuk mengikuti jejaknya, menggunakan pembelajaran yang menyenangkan siswa.

Bahkan kata Pak Eko, sekarang di SMP 19 Purworejo dinding kelas meriah dengan tempelan hasil karya siswa, sehingga untuk membuat lebih enak dipandang mata akhirnya tiap kelas dinding bagian belakang dibuat ‘’kapling-kapling’’ untuk setiap mata pelajaran. Hal istimewa bagi Pak Eko ketika pengawas sekolah Diknas Purworejo, Subiyanto menyempatkan diri untuk melihat proses pembelajaran di kelasnya selama 2 jam pelajaran.

Baru-baru ini, Pak Eko mendapat penghargaan dari Development Education America sebagai guru dengan predikat “good practice” yang di selenggarakan pada 28 Juli di Hotel Hilton, Solo.




Read more...

Onah Lasmanah

Published by: kickandy
Onah Lasmanah adalah anak petani. Tahun 1974, sewaktu sekolah SD ia pernah menggantikan posisi asahnya di kelompok tani, dan mengikuti latihan konservasi. Namun ia tak bisa menjadi anggota kelompok tani tersebut karena kelompok tersebut khusus bagi kaum lelaki.

Tahun 1977 ia membangun kelompok tani khusus perempuan yang ia beri nama Harum Sari Manis. Dari pelajaran sekolah, ia mengaku mendapat pengetahuan tentang ilmu kehutanan dan menerapkannya dalam kelompok ini. “Saya menerapkan system integrasi , yakni di bagian atas hutan menanam kayu, dibawahnya tanaman perkebunan, lalu tanaman hortikultura, dibawahnya lagi lumbung hidup pertanian, dan paling bawah tanaman farmasi untuk obat-obatan,� ujarnya saat tampil di Kick Andy.

Onah juga sempat dianggap gila, karena pernah menaruh sejumlah dedaunan kering yang sedang diproses menjadi bahan herbal di kamarnya. Tapi kini, masyarakat malahikut tergerak untuk mengolah tanaman obat menjadi jamu tradisional.

Kini kelompok tani yang didirikan Onah itu sudah bisa memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian penduduk dan juga kelestarian alam.
Read more...
Category:

Dr. Joserizal Jurnalis, SpBO

Published by: kickandy
Meski profesinya dokter bedah tulang, tapi sebagian besar kehidupannya digunakan untuk menjadi relawan.
Misi kemanusiaan pertama Joserizal adalah menjadi relawan medis untuk korban konflik di Tual, Maluku Tenggara. Berawal dari keprihatinan, karena tenaga medis yang terjun ke wilayah tersebut bersikap tidak netral. ”Kebanyakan tenaga medisnya bersikap tidak netral, tidak mau menolong orang yang berbeda agama, padahal ini kan misi kemanusiaan,” ungkapnya. Selama 3 minggu berada di Maluku, Jose mengaku mendapatkan pengalaman yang tidak terlupakan.
Gempa bumi dan tsunami di Aceh (27 Desember 2004-3 Januari 2005)
Saat terjun ke Aceh merupakan kerja berat bagi Jose. ”Saya tidak terjun sebagai ahli bedah tulang, tetapi juga negosiasi, nayi air bersih , makanan, dll. Waktu itu banyak korban yang meninggal karena tidak minum,” kayanya. Di Aceh, Jose juga membantu dalam proses negosiasi kasus wartawan Ersa Siregar dan Ferry Santoro dengan GAM. ”Berunding dengan GAM di pinggir kota Langsa, dekat hutan. Lepas kejadian itu, anak buah Isa Daud, pemimpin GAM minta duit ke MER-C sebesar 100 juta. Ancaman kepada saya sering saya terima, karena saya sudah masuk ke wilayah-wilayah yang sensitif,” terang Jose.


Afganistan (Tim I): 29 Oktober 2001 (tentara Taliban vs Amerika)
Saat itu Amerika sudah menguasai Khabul. ”Situasi saat itu kami banyak dihadapkan dengan korban luka-luka akibat senjata api, ranjau, rudal. Banyak yang dalam kondisi parah. Kota itu di bom habis-habisan, dan kami menangani korban di rumah sakit,” kata Jose.

Afganistan Tim II: 14 Mei 2002
Saat itu Amerika sudah ada di Khandahar—masuk melalui Khabul. Thaliban menyarankan kepada kami untuk segera keluar dari Afganistan. ”Saat itu saya sudah menjadi incara tentara Amerika, karena saya selalu masuk ke wilayah-wilayah sensitif. Thaliban berkata kepada saya bahwa tetua suku mereka meminta mereka untuk mengawal saya dan tim keluar dari Afganistan. Kami dikawal melewati jalan tikus, agar lepas dari ancaman ranjau. Mereka memberitahu kepada kami untuk tidak ke Khandahar, karena di sana Amerika memasang bom karpet. Yang kalau kena, kaki kita sampai sebatas lutut bisa terpotong!,” terang Jose. Jose memutuskan berpisah dengan rombongan. ”Saya berpisah dengan tim dari RI, dan pergi ke Khandahar. Saat itu saya berpikir bahwa di Khandahar pasti banyak korban luka-luka,” jelasnya

Irak-Bagdad: 1-12 April 2003
Jose dan tim medis datang ke Irak melalui Yordania. ”Jam 2 siang kami mendarat di Yordania, dan tidak diijinkan masuk. Setelah negosiasi dan perdebatan yang alot selama 5 jam—menjelaskan bahwa kami adalah tim kemanusiaan, kami diberi visa dan diijinkan masuk Irak. Mobil ambulance MER-C dicek d semua bagian. Keesokan harinya kami jalan keperbatasan. Dan jarak dari perbatasan Yordania-Irak dengan Bagdad itu 100 kilometer. Selama perjalanan yang terlihat hanya padang pasir,” jelasnya.
Tiba di Al Kimbi Hospital Jose langsung menangani pasien yang kebanyakan mengalami lika akibat tembakan. ”Ada anak yang berumur 10 tahun yang kepalanya kena tembak dengan senjata otomatis. Otaknya sampai kelihatan.Kami tangani, tetapi ia tidak selamat,” katanya. Setelah beberapa waktu Jose dan tim medis bekerja di Al Kimbi Hospital, kondisi Bagdad semakin parah dan persedian medis menipis. ”Persediaan obat-obatan kami habis. Kami berupaya untuk mencari dan membeli di Yaman—yang tekenal dengan harga obat yang murah. Namun timbul masalah, karena perjalanan harus melalui Siria. Sulit mengurus cukai obat dan visa dari Siria ke Yordania. Setelah diskusi bahwa ini adalah misi kemanusiaan, maka kami diperbolehkan masuk Irak,” jelas Jose. Setelah porak poranda, terjadi penjarahan dan pertikaian antar kelompok Jose dan tim memutuskan kembali ke tanah air. ”Situasi semakin sulit diidentifikasi, antara intelejen, sipil, petugas kemanusiaan, dll. Terjadi konflik horizontal. Karena itu kami kembali ke Yordania, menunggu situasi. Tetapi ternyata tidak kondusif, kami tidak mungkin kembali ke Bagdad, sehingga kami putuskan untuk pulang ke Indonesia,” terang Jose.

Iran (Gempa bumi yang menyebabkan lebih dari 50.000 korban jiwa): 1 Januari 2004
Saat itu terjadi masalah gempa bumi di Iran. ”Saya mendengar bahwa Indonesia akan menyerahkan bantuan ke Iran dalam bentuk uang. Saya langsung telepon Pak Yusuf Kalla, mengatakan bahwa Indonesia seharusnya mengirim tenaga medis. Dan saya bersedia jadi relawan ke Iran dalam misi kemanusiaan itu,” katanya.
Dalam perjalanan menuju Iran terjadi kendala. ”kami berangkat menggunakan pesawat herkules yang sudah tua. Kami haruslanding di Kerman, karena baling-baling pesawatnya nggak mau bekerja. Tetapi kemudian hidup kembali karena diterpa angin, kita semua lari-lari mengejar pesawat dan masuk ke dalam pesawat. Saat take off saya merasakan pesawat bergerak aneh karena terpaksa menaikkan ketinggian dengan cepat. Itu adalah perjalanan yang luar biasa. Saya sempat merasa ketakutan, takut jatuh!,” ungkap Jose.

Dari Kerman terbang menuju Bam. ”Di Bam kami bertemu dengan pejabat di sana, ngobrol, dan akhirnya kita buka tenda darurat, poliklinik, tenda pengungsian dan melakukan operasi. Masuk minggu ke-3 di Bam, saya merasa bahwa yang kami lakukan tidak efektif karena yang berobat kebanyak orang-orang kaya, bukan korban sipil. Saya bilang kepada komandan di sana bahwa saya harus kembali ke Indonesia. Saya di telepon supaya saya kembali. Di minta menjadi negosiator, berunding dengan GAM,” jelas Jose.

Kashmir-Pakistan (gempa bumi): 13-27 Oktober 2005
Jose mendarat di kota Lahor. ”Saya dijemput oleh kotak person kami dan pergi ke Muzaffarabad. Kemudian ditempatkan di pusat gempa. Saya melakukan operasi di wilayah terbuka. Saat itu musim dingin, dan bulan puasa. Kami melakukan operasi dan memberikan pelayanan medis selama 24 jam non-stop. Sangat melelahkan!. Setelah 17 hari, kami dideportasi. Kembali ke Indonesia melalui Muaffarabad,” jelas Jose.
Libanon (perang antara Israel dengan Hizbullah): 10 Juli-14 Agustus 2006
Masuk ke Libanon melalui Suriah, kemudian ke Beirut. ”Kami bikin basecamp selama 2 hari. Kompleks Hizbullah dihancurkan oleh Israel. Tenaga medis dan penangaannya sudah baik. Hizbullah lebih cekatan dalam menangani korban. Kami hanya menangani korban yang tersisa saja. Setelah 3 minggu membantu korban perang, kami pulang ke Indonesia,” tuturnya.

Gaza-Palestina: Desember 2008-31 Januari 2009
MER-C, Departemen Kesehatan dan wartawan Indonesia bergabung melakukan misi kemanusiaan ke Palestina. ”Saya ditelepon, diminta membantu. Misi pertama itu ke Yordania. Dan rencananya bantuan hanya diserahkan kepada duta besarnya di kantor perwakilan. Kemudian saya mengatakan bahwa bantuan tersebut seharusnya langsung diserahkan kepada masyarakat,” kata Jose.
Jose mengaku merasa mendapat amanah untuk melakukan sesuatu yang lebih untuk orang lain. Banyak yang bertanya kepada saya kalau mau melakukan sesuatu mengapa tidak di Indonesia, seperti di Jakarta banyak korban banjir?! Persoalan yang menjadi pertimbangan adalah urgency, walaupun di Jakarta juga banyak yang harus ditolong.



Read more...

Sariban Kecintaanya terhadap lingkungan

Published: kickandy
Setelah pensiun dari pegawai kebersihan di RS. Cicendo Bandung, Sariban tak mengghentikan aktivitasnya dalam membesihkan sampah. Bahkan secara rutin setiap senin hingga sabtu, ia melakukan patroli keliling kota memunguti setiap sampah yang mengotori kota dan mencabuti paku yang menancap di pohon. Baginya, pohon harus bersih dari paku agar kehidupannya tak terganggu.

Sepedah tua yang sudah di-design khusus sebagai sepeda patrol kebersihan menemaninya setiap hari. Ia tak peduli ketika banyak orang menganggapnya gila. Bahkan salah satu putranya sempat malu mengakui sebagai ayahnya.

Sariban akan mudah kita temui di tengah-tengah acara perhelatan seperti demostrasi massa. Bukan untuk ikut berdemo, tapi untuk memunguti sampah-sampah yang berserakan
Read more...

Ciptono - Guru Kebutuhan Khusus

Published by: kickandy
Ia adalah sosok guru yang sangat peduli pada perkebanganan anak-anak berkebutuhan khusus.SLB Negeri Semarang, tempat dimana dia menjabat sebagai Kepala Sekolah sekarang dirintis sejak tahun 2002. Awalnya, dia membuka SLB di ruangan balai RW dekat rumahnya, kemudian pindah disamping garasi rumahnya selama lebih kurang 3 tahun lamanya.

Pada Februari 2005, mereka mendapat tawaran untuk mengembangkan SLB dan mereka pindah ke tempat baru dengan total siswa 30 siswa dan 9 guru binaan dari rumahnya. Karena belum ada dana dari pemerintah guru-guru yang mengajar diurus oleh orang tua murid, Ciptono memindahkan barang-barangnya sendiri seperti peralatan masak dan meja. Tahun 2006, dana dari pemerintah datang dan seiring perkembangannya pada tahun 2008, SLB Negeri Semarang sudah memiliki 242 siswa dan 60 guru


Gaji yang diterima oleh para guru berasal dari dana BOS, pemerintah dan dari hasil unit usaha mereka seperti penjualan pulsa, VCD pertunjukan ABK yang berbakat, menjual rumput dari lapangan belakang sekolah yang mereka budidayakan serta menjual makanan seperti kerupuk.

Menurut Ciptono SLB Negeri Semarang membina anak-anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa dan autis. Selain itu, mereka juga mempunyai beberapa bengkel pelatihan seperti tata boga, pertukangan, otomotif, busana, electricitydan pertamanan. Jadi bagi anak-anak yang tidak mempunyai kemampuan akademis, mereka diarahkan dan dididik ketrampilan. Di sekolah tersebut, Ciptono berkomitmen dengan mempekerjakan 20% karyawan yang merupakan penyandang cacat dan lulusan SLB. Hal ini dilakukannya untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka juga bisa bekerja. Selain itu, juga untuk menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak lainnya. Ciptono menambahkan, diantara penyandang cacat tersebut ada yang menjadi asisten di bidang otomotif dengan gaji Rp. 200.000-250.000. Terkadang ada juga yang gajinya berasal dari orang tua mereka namun dititipkan kepada pihak sekolah.

Ciptono lulus dari IKIP Yogyakarta tahun 1987, Ciptono mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp. 5000/bulan ditambah Rp. 700 untu transport. Uang yang diterimanya habis dalam waktu 5 hari. Untunglah, untuk ongkos transportasi sehari-hari, Ciptono dibantu oleh ayahnya, Jayin Hartowiyono yang merupakan pemilik armada bus Gotong Royong dan Hidayah di Salatiga. Ciptono sendiri dibesarkan oleh neneknya dengan pendidikan “keras”. Menurut pengakuannya, neneknya mendidiknya untuk mencintai sesama, khusunya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.

Ibunya sendiri sudah meninggal dunia sejak ia berusia 3 tahun. Salah satu nilai yang diajarkan neneknya adalah “bantulah orang lain disaat kamu bisa membantu”. Pesan ini begitu terpatri dalam benak Ciptono sehingga dia begitu menunjukkan totalitasnya untuk pendidikan bagi ABK (Anak berkebutuhan khusus). Ciptono juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa ABK mempunyai kemampuan luar biasa Ditambahkannya, jiwa sosialnya untuk menolong ABK muncul sejak lulus SMA tahun 1982. Awalnya, Ciptono sempat mendaftar di Kedokteran UGM namun tidak diterima. Kemudian, dia memutuskan untuk mendaftar di IKIP Yogyakarta jurusan Pendidikan Luar Biasa.

Ciptono juga merupakan perintis untuk 3 sekolah. Salah satunya yaitu SLB Bina Harapan membantu anak-anak yang berkesulitan dalam belajar. Di sekolah ini, dibuka kelas khusus yang merupakan tempat bagi anak-anak yang seharusnya bersekolah di SLB namun orang tuanya masih belum bisa menerima keadaan anaknya. Oleh karena itu, di sekolah ini, para orang tua diberi pengertian lebih dahulu agar dapat bisa menerima anaknya bersekolah di SLB. Ciptono pun selalu mengatakan kepada guru-guru yang lain bahwa “ dibalik kekurangan ada kelebihannya”.



Read more...

Hj. Rabiah (Suster Apung)

Published: kickandy
Film dokumenter, “Suster Apung” sebelumnya hanya saya tonton secara sepintas di televisi, dan itupun hanya dalam bentuk potongan berita atau cuplikan-cuplikan pendek di salah satu TV Swasta. Meski kisah sukses film itu telah diberitakan berbagai media sejak tahun 2006 silam, saya tidak jua mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan film itu secara utuh. Hingga tanggal 20 mei 2009 saya berkesempatan untuk menyaksikan film, “Suster Apung” secara utuh, bahkan berdiskusi langsung dengan Andi Arfan Sabran pemuda yang menyutradarai film ini, dalam kegiatan, “Pemutaran dan diskusi film dokumenter suster apung” yang diselenggarakan oleh BAKTI di Makassar.”

Film berdurasi 15 menit ini adalah salah satu film dokumenter yang sukses menyabet gelar film terbaik Eagle Award yang diselenggarakan Merto TV, berkisah tentang seorang suster atau perawat bernama, Hj Andi Rabiah, yang bekerja dari satu pulau ke pulau lainnya yang letaknya tepat dekat Flores yang merupakan pulau terjauh di Kabupaten Pangkep.

“Suster Apung” adalah sebuah kisah inspirasional, sebuah kisah yang menunjukan semangat berbagi dan pengabdian kepada masyarakat, Perawat ini dengan tulus ikhlas melayani pasiennya.


Hj. Rabiah telah bertugas sebagai perawat selama 28 tahun hingga sekaang di kepulauan Liukang Tangaya di selatan Pulau Sulawesi, dekat perairan laut Flores. Ia harus menembus ganasnya gelombang laut dan melawan batas kewenangannya sebagai perawat, serta tidak menyerah oleh keterbatasan fasilitas yang ada di tempat-tempat terpencil tersebut.

Film dokumenter yang menampilkan aktifitas keseharian suster Rabiah ini sungguh mengharukan, menyaksikan bagaimana perjuangan suster Rabiah dari satu pulau ke pulau lainnya dengan menghadapi ganasnya gelombang laut, demi untuk melayani orang-orang yang membutuhkan pertolongan dari tenaga perawat, benar-benar sebuah kisah kemanusiaan, seperti pengakuan dari sang sutradara, “Menyaksikan apa yang dilakukan oleh suster Rabiah, benar-benar mengusik rasa kemanusiaan saya, ada hal-hal yang harus disuarakan dari perjuangannya,” ungkapnya.

Sang sutradara asal Makassar ini sangat cerdas dalam menampilkan ketulusan sang suster dalam melayani orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis, visualisasi aktifitas dan pernyataan-pernyatan sang suster dalam film ini benar-benar memberikan kesan alami dan tulus, seperti ungkapannya saat mengakui dirinya bertindak di luar kewenangannya selaku suster. “Saya ini suster, tapi saya harus menjalankan semua tanggung jawab sebagai bidan bahkan dokter. Mau apalagi tidak ada tenaga kesehatan lain di sini,” ungkap sang suster dalam film tersebut.

“Suster Apung”, sebagai sebuah film dokumenter, bukan hanya memenang-kan penghargaan Eagle Award, namun juga telah memenangkan perjuangan menuntut perhatian dari pemerintah atas kehidupan “Sang Pengabdi“ dan masyarakat di pelosok negeri ini.

Setelah film ini terpublikasi, pihak pemerintah seolah berlomba memberikan perhatian kepada penghidupan sang suster. Meski tak jarang perhatian yang diberikan tak mengena pada akar persoalan yang sesungguhnya.

Menyaksikan film ini, seperti melihat dan membaca negara ini, yang sering diidentikan dengan kekayaan alam, namun ada sesuatu yang timpang di dalamnya. “Suster apung” adalah potret kehidupan sang pengabdi yang terlupakan, ada banyak Suster Apung lainnya di pelosok negeri ini yang nasibnya tak lebih baik dari suster Hj.Rabiah.
“Saya meyakini, masih banyak suster-suster seperti Hj. Rabiah, masih banyak kisah-kisah inspiratif dari perjuangan dan pengabdian. Untuk merekalah sesungguhnya film ini dibuat,” ujar Arfan menutup diskusi film ini


Read more...

Yohanes Surya

Yohanes Surya lahir di Jakarta pada tanggal 6 November 1963. Ia mulai memperdalam fisika pada jurusan Fisika MIPA Universitas Indonesia hingga tahun 1986, mengajar di SMAK I Penabur Jakarta hingga tahun 1988 dan selanjutnya menempuh program master dan doktornya di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Program masternya diselesaikan pada tahun 1990 dan program doktornya di tahun 1994 dengan predikat cum laude. Setelah mendapatkan gelar Ph.D., Yohanes Surya menjadi Consultant of Theoretical Physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator Facility) Virginia – Amerika Serikat (1994).

Walaupun sudah punya Greencard(ijin tinggal dan bekerja di Amerika Serikat), Yohanes Surya pulang ke Indonesia dengan tujuan ingin mengharumkan nama Indonesia melalui olimpiade fisika (semboyannya waktu itu adalah “Go Get Gold”) serta mengembangkan fisika di Indonesia.


Pulang dari Amerika, disamping melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), Yohanes Surya menjadi pengajar dan peneliti pada program pasca sarjana UI untuk bidang fisika nuklir (tahun 1995 –1998). Dari tahun 1993 hingga 2007 siswa-siswa binaannya berhasil mengharumkan nama bangsa dengan menyabet 54 medali emas, 33 medali perak dan 42 medali perunggu dalam berbagai kompetisi Sains/Fisika Internasional. Pada tahun 2006, seorang siswa binaannya meraih predikat Absolute Winner (Juara Dunia) dalam International Physics Olympiad (IphO) XXXVII di Singapura.

Sejak 2000, Yohanes Surya banyak mengadakan pelatihan untuk guru-guru Fisika dan Matematika di hampir semua kota besar di Indonesia, di ibukota kabupaten/kotamadya, sampai ke desa-desa di seluruh pelosok Nusantara dari Sabang hingga Merauke, termasuk pesantren-pesantren. Untuk mewadahi pelatihan-pelatihan ini Yohanes Surya mendirikan Surya Institute. Surya Institute kini sedang membangun gedung TOFI center yang akan menjadi pusat pelatihan guru maupun siswa yang akan bertanding di berbagai kejuaraan sains/fisika.

Yohanes Surya merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika/Matematika. Ada 68 buku sudah ditulis untuk siswa SD sampai SMA. Selain menulis buku, ia juga menulis ratusan artikel Fisika di jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional, harian KOMPAS, TEMPO, Media Indonesia dan lain-lain. Ia juga pencetus istilah MESTAKUNG dan tiga hukum Mestakung, serta pencetus pembelajaran Gasing (Gampang, Asyik, Menyenangkan).

Selain sebagai penulis, Yohanes Surya juga sebagai narasumber berbagai program pengajaran Fisika melalui CD ROM untuk SD, SMP dan SMA. Ia juga ikut memproduksi berbagai program TV pendidikan diantaranya “Petualangan di Dunia Fantasi”, dan “Tralala-trilili” di RCTI.

Di luar aktifitasnya di atas, Yohanes Surya berkiprah dalam berbagai organisasi internasional sebagai Board member of the International Physics Olympiad, Vice President of The First step to Nobel Prize (1997-sekarang); Penggagas dan President Asian Physics Olympiad (2000-sekarang); Chairman of The first Asian Physics Olympiad, di Karawaci, Tangerang (2000); Executive member of the World Physics Federation Competition; Chairman of The International Econophysics Conference 2002; Chairman the World Conggress Physics Federation 2002; Board of Experts di majalah National Geographic Indonesia serta menjadi Chairman of Asian Science Camp 2008 di Denpasar, Bali. Selama berkarir di bidang pengembangan fisika, Yohanes Surya pernah mendapatkan berbagai award/fellowship antara lain CEBAF/SURA award AS ’92-93 (salah satu mahasiswa terbaik dalam bidang fisika nuklir pada wilayah tenggara Amerika), penghargaan kreativitas 2005 dari Yayasan Pengembangan Kreativitas, anugerah Lencana Satya Wira Karya (2006) dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun yang sama, ia terpilih sebagai wakil Indonesia dalam bidang pendidikan untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Pada tahun 2007, beliau menulis buku "Mestakung: Rahasia Sukses Juara Dunia" yang mendapatkan penghargaan sebagai penulis Best Seller tercepat di Indonesia. Dan tahun 2008 mendapat award sebagai Pahlawan Masa Kini pilihan Modernisator dan majalah TEMPO

Yohanes Surya adalah guru besar fisika dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Ia pernah menjadi Dekan Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan; Kepala Promosi dan Kerjasama Himpunan Fisika Indonesia (2001-2004), juri berbagai lomba sains/matematika (XL-com, L’oreal, UKI dsb), anggota Dewan Kurator Museum Iptek Taman Mini Indonesia Indah, salah satu founder The Mochtar Riady Institute, anggota Dewan Wali Amanah Sekolah Tinggi Islam Assalamiyah Banten dan kini Prof. Yohanes Surya menjabat sebagai Rektor Universitas Multimedia Nusantara (Kompas Gramedia Group) serta aktif mengkampanyekan Cinta Fisika (Bali Cinta Fisika, Kalbar Cinta Fisika dsb) diseluruh Indonesia.(***)


Read more...

R. A Kartini

Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).


Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.


Read more...